Di tengah hiruk-pikuk perkembangan teknologi finansial, kamu mungkin pernah merasa heran: kenapa riba—yang jelas-jelas dilarang dalam Islam—masih jadi bagian dari kehidupan sehari-hari? Bahkan sering kali dianggap “biasa-biasa saja”? Mari kita gali lebih dalam lewat 6 pertanyaan mendasar yang bisa bantu kita melihat dari sudut pandang yang lebih jujur dan reflektif.
Kenapa kita masih sering menggunakan layanan keuangan berbasis riba?
Jawabannya sederhana: karena itu yang paling mudah diakses. Saat butuh beli barang, tapi dana belum cukup, tawaran cicilan langsung muncul. Mau kartu kredit? Tinggal isi formulir. Mau pinjaman cepat? Banyak aplikasi siap cairkan dana dalam hitungan menit. Sistem ini dibangun untuk membuat kamu tidak perlu berpikir panjang.
Sayangnya, kemudahan ini sering menutupi realitas sesungguhnya: bahwa di balik “0% bunga”, “denda ringan”, atau “tenor fleksibel”, ada skema riba yang merugikan—baik secara finansial, maupun spiritual.
Kenapa sesuatu yang dilarang dalam Islam bisa terasa begitu normal?
Karena riba bukan lagi dianggap “penyimpangan”—ia telah menjadi struktur. Sistem ekonomi modern yang dominan menjadikan bunga sebagai fondasi. Maka tak heran jika banyak orang bahkan tidak sadar bahwa mereka sedang terlibat dalam praktik riba.
Lebih jauh, karena kita tidak dibesarkan dengan pemahaman fikih muamalah sejak dini, kesadaran tentang riba sering baru muncul ketika kita mulai serius memperbaiki hubungan dengan Allah. Tapi saat sadar pun, tantangannya masih besar: semua orang melakukannya, kenapa aku harus beda?
Kenapa Islam melarang riba dengan sangat tegas?
Larangan riba bukan cuma perintah agama yang tak jelas alasannya. Islam melarang riba karena ia adalah bentuk ketidakadilan. Riba memperkaya yang sudah kaya, dan menindas yang sedang butuh.
Dalam Al-Baqarah ayat 275-279, Allah tidak hanya menyatakan riba itu haram, tapi juga menyebut ancaman perang dari Allah dan Rasul-Nya bagi yang tetap menjalankannya. Ini bukan urusan kecil. Karena riba bukan sekadar angka—ia merusak sistem nilai, menghancurkan keberkahan, dan menyuburkan ketimpangan.
Kenapa kita tetap ragu untuk meninggalkan riba, meski tahu itu haram?
Karena kita takut. Takut tidak bisa memenuhi kebutuhan kalau tanpa sistem konvensional. Takut tidak ada jalan lain. Takut dianggap aneh atau “terlalu idealis”.
Tapi kamu perlu tahu: Islam tidak melarang bertransaksi. Islam tidak melarang membeli dengan cicilan. Yang dilarang adalah ketidakjelasan akad, bunga atas utang, dan praktik saling merugikan. Artinya, solusi halal itu ada—hanya belum sepopuler yang konvensional.
Kenapa kita butuh solusi keuangan yang sesuai syariah?
Karena hidup bukan hanya soal bisa beli sekarang. Tapi soal apakah rezekimu berkah, dan apakah hartamu membuatmu lebih dekat dengan Allah.
Transaksi keuangan adalah bagian dari ibadah. Setiap akad mencerminkan nilai. Syariah bukan hanya tentang produk halal, tapi juga tentang cara yang halal. Maka, punya sistem keuangan yang transparan, adil, dan tanpa riba adalah bagian dari membangun hidup yang selamat dunia-akhirat.
Kenapa sekarang saat yang tepat untuk hijrah keuangan?
Karena peluangnya sudah terbuka. Dulu, mungkin kamu merasa sendirian. Sekarang, semakin banyak anak muda muslim mulai sadar dan bergerak. Komunitas tumbuh. Edukasi semakin mudah diakses. Dan platform-platform yang berusaha menjaga prinsip syariah mulai bermunculan.
Hijrah itu bukan soal langsung sempurna. Tapi soal berani mulai. Dan untuk urusan keuangan, memulai hijrah bisa jadi titik balik besar dalam hidupmu—lebih tenang, lebih bersih, lebih berkah.
Kesimpulan
Menghindari riba bukan keputusan yang mudah, tapi itu keputusan yang bernilai. Kamu nggak harus tahu semuanya sekarang. Tapi kamu bisa mulai dengan bertanya: apakah keuanganku hari ini membawa keberkahan, atau justru keburukan yang tak kusadari?
Karena mungkin selama ini kita menganggap riba biasa—tapi syariat tidak pernah anggap itu sepele.