Noriba

Daftar Isi

Daftar Isi

Kalau Kamu Nggak Ridha, Transaksinya Bisa Batal di Mata Syariah

Pernah nggak kamu beli sesuatu, tapi sebenarnya nggak terlalu paham barangnya? Atau terpaksa bayar biaya tambahan yang nggak dijelaskan sejak awal? Atau mungkin kamu ikut program cicilan karena nggak enak nolak, padahal nggak yakin akadnya jelas?

Kalau iya, coba berhenti sebentar dan tanya diri sendiri: kamu ridha nggak dengan transaksi itu?
Karena dalam Islam, ridha itu bukan sekadar perasaan—tapi jadi syarat sahnya muamalah.

Apa itu “ridha” dalam transaksi?

Ridha artinya rela, menerima dengan sadar dan tanpa paksaan. Dalam konteks transaksi, ridha berarti kedua belah pihak menyetujui akad dengan penuh kesadaran, tanpa kebingungan, tanpa tekanan, dan tanpa ada yang ditutupi.

Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 29:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesama kamu dengan cara yang batil, kecuali dengan perdagangan yang dilakukan atas dasar suka sama suka (ridha) di antara kamu.”

Artinya, transaksi yang sah bukan cuma soal bayar dan terima barang, tapi harus ada kejelasan, keterbukaan, dan kerelaan dari semua pihak. Kalau kamu nggak ridha—misalnya karena tidak tahu akadnya, atau merasa dirugikan tanpa diberi tahu sejak awal—maka transaksinya bisa cacat secara syariah.

Kok bisa transaksi batal kalau nggak ridha?

Karena dalam Islam, harta tidak boleh berpindah tangan dengan cara yang batil. Dan salah satu bentuk kebatilan adalah mengambil uang atau barang orang lain dalam kondisi dia tidak benar-benar rela.

Contoh-contoh yang sering terjadi:

  • Kamu disuruh “tanda tangan aja dulu, nanti dijelasin belakangan”
  • Kamu dikenakan denda, biaya tambahan, atau potongan saldo tanpa penjelasan
  • Kamu ikut cicilan atau langganan otomatis karena terjebak sistem, bukan karena paham dan setuju

Semua itu membuat akad jadi tidak utuh, karena salah satu pihak tidak sepenuhnya tahu atau tidak sepenuhnya setuju. Dan itu berarti tidak ada ridha.

Bedanya “diam” dan “ridha”

Ini penting: diam tidak selalu berarti ridha. Kadang orang diam karena nggak ngerti, bingung, atau malas ribut. Tapi kalau seseorang nggak tahu apa yang sedang ia sepakati, lalu setuju karena tekanan atau ketidaktahuan, maka itu bukan ridha—dan bisa membatalkan akad secara syariah.

Misalnya: kamu beli HP dengan cicilan, tapi tidak diberi tahu total harga aslinya, biaya keterlambatan, atau skema margin. Kamu pun setuju karena “percaya aja”. Nah, itu berisiko masuk kategori gharar dan tidak ridha sepenuhnya.

Transaksi syariah harus transparan dan adil

Islam mewajibkan transaksi dilakukan dengan prinsip:

  • Transparansi → semua pihak tahu dan paham
  • Keterbukaan akad → jelas jenis transaksi, harga, konsekuensi
  • Keseimbangan hak dan kewajiban
  • Saling ridha → kedua belah pihak tidak merasa dipaksa, ditekan, atau dimanipulasi

Nabi ﷺ bersabda:

“Jual beli itu harus dilakukan dengan suka sama suka.”
(HR. Ibnu Majah)

Jadi, sistem cicilan yang menyembunyikan informasi, atau proses jual beli yang memanfaatkan ketidaktahuan konsumen, meskipun kelihatan modern atau “legal secara hukum negara”, tetap bisa dianggap tidak sah secara syariah.

Gimana cara tahu kita ridha atau nggak?

Tanya diri kamu:

  • Aku tahu akadnya? Aku paham ini jual beli atau pinjaman?
  • Aku tahu total harga, biaya tambahan, dan semua kewajiban?
  • Aku merasa bebas dalam memilih, atau dipaksa ikut sistem?
  • Aku bisa tanya kalau ada yang ganjil?

Kalau kamu nggak yakin, berarti belum ada ridha sepenuhnya. Dan itu cukup jadi alasan untuk meninjau ulang keputusanmu.

Jangan buru-buru tanda tangan kalau belum ridha

Dalam dunia yang serba cepat, kita sering buru-buru klik “setuju”, tanda tangan tanpa baca, dan ikut promo tanpa mikir. Tapi dalam Islam, akad itu sakral. Harta yang masuk dan keluar dari tanganmu akan ditanya, dan keberkahannya ditentukan dari awal: apa kamu ridha, dan apa pihak lain ridha juga?

Jangan anggap ringan.

Karena bukan cuma soal untung-rugi di dunia, tapi juga soal amanah dan hisab di akhirat.

Bagikan artikel ini